Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Muhammad Abduh dan Kontribusinya di Dunia Islam

Ekspedisi Napoleon Bonaparte dari Perancis ke Mesir membuat umat Islam mesir mengetahui bahwa mereka sangat tertinggal jauh dari peradaban Barat yang sat itu sudah sangat maju pasca Revolusi Perancis dan menimbulkan gerakan Renaisanse.

Ekspedisi Napoleon bukan hanya bermisi politik, akan tetapi juga diiringi dengan misi memajukan ilmu pengetahuan yang ada di Mesir yang saat itu sangat terpuruk, 

karena paham jumud yang dianut sebagian besar rakyat Mesir dibawah kekuasaan dinasti Mamluk.

Seiring dengan hal itu, maka banyak bermunculan para pembaru-pembaru yang muncul di Mesir sebagai respon atas mundurnya umat Islam di Mesir pada saat itu. 

Muhammad Ali, disusul kemudian Jamaluddin al Afghani dan kemudian Muhammad Abduh (Murid dari Jamaluddin al Afghani). 

Ketiga pembaru tersebut memiliki jalan yang berbeda-beda. Muhammad Ali sebagai penguasa absolut Mesir, melakukan pembaruan di bidang militer, ekonomi dll.

Sedangkan Jamaluddin al Afghani melakukan pembaruan dibidang Politik sebagai respon atas kekuasaan Muhammad Ali yang absolut dan cenderung otoriter. 

Sedangkan Muhammad Abduh lebih banyak melakukan pembaruan di bidang pendidikan dan keislaman.

RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada masa akhir dari kekuasaan Muhammad Ali (1805-1849), 

sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa Abduh lahir pada tahun 1849 M, di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di provinsi Gharbiyyah. 

Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al Kabir yang mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khattab. 

Keluarga Abduh merupakan keluarga yang kuat dalam menjalankan agama.

Sampai usia 10 tahun, ia dididik  di dalam lingkungan keluarganya. Kemudian ia menghafal al Qur’an dibawah bimbingan seroang guru yang hafal kitab suci itu. 

Dalam masa dua tahun ia sudah bisa menghafal al Qur’an. 

Pada tahun 1863 (umur 14 tahun), ia dikirim orang tuanya ke Tanta, untuk meluruskan bacaannya di Mesjid al Ahmadi. 

Dua tahun kemudian ia mulai mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan disana, tetapi karena metode yang diajarkan salah, 

setelah satu setengah tahun belajar, ia merasa belum mengerti apa-apa, karena metode yang dilakukan adalah hafalan tanpa menjelaskan artinya.

Karena tidak puas, ia kemudian pulang dan menikah. 40 hari setelah perkawinannya ia dipaksa orang tuanya untuk kembali ke Tantan. 

Tetapi ia tidak kemudian ke Tanta, dan lari ke desa Kanisah Urin, tempat tinggal dari kaum kerabat dari pihak ayahnya. Yang bernama Syaikh Darwis Khadr. 

Ia selalu mendorong Abduh untuk kembali membaca buku, dan berkat kesabaran Syeikh Darwis, ia kemudian mulai tertarik untuk membaca sendiri. 

Setelah itu ia kembali ke Tantan dan beberapa bulan kemudian ia ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Al Azhar.

Di sinilah ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Jamaludin al Afghani, ketika ia bersama dengan mahasiswa lainnya pergi berkunjung ke penginapan al Afghani di dekat al Azhar, 

dalam pertemuan itu, al Afghani mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat al Qur’an. 

Kemudian ia berikan tafsirannya sendiri. 

Perjumpaan Abduh dengan Afghani ini meninggalkan kesan yang baik dalam diri Abduh. Dan kemudian Abduh menjadi murid yang setia dari al Afghani. 

Secara pribadi Abduh banyak belajar dari Al Afghani, terutama dalam bidang filsafat, logika, dan imu kalam, serta wawasan sosial dan politik.

Di tahun 1877, ia menyelesaikan studinya di Al Azhar dengan gelar Alim. 

Ia mulai mengajar di Al Azhar dan kemudian di Dar al Ulum, selain itu ia juga mengajar di rumahnya sendiri. 

Tahun 1879, ketika Jamaludin al Afghani diusir dari Mesir karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, 

Muhammad Abduh juga dipandang ikut campur dalam gerakan tersebut dan kemudian dibuang ke luar Kairo. 

Keterlibatan Abduh tersebut karena ke ikutsertaannya ia dalam partai Hizb al Wathon yang didirikan oleh gurunya (Jamaludin al Afghani).

Pada tahun 1882, ia diasingkan ke Syiria dan memilih tinggal di Beirut, kemudian ia menyusul al Afghani ke Paris, 

dan oleh gurunya itu Abduh diajak mendirikan majalah yang diberi nama al ‘Urwah al- Wutsqa

Selanjutnya ia kembali ke Beirut, dan di sini ia mengembangkan ilmu dan pembinaan pendidikan. 

Satu karya yang monumental yang dihasilkan selama berada di kota Beirut adalah bukunya yang berjudul Risalah al-Tauhid

Pada 1888, Abduh diizinkan kembali ke Mesir dan ia kemudian diangkat menjadi hakim. 

Pada 1890 ia dipercaya menjadi penasehat hukum pada Mahkamah Agung di Kairo. 

Pada 15 Januari 1895, pemerintah mengeluarkan surat putusan pembentukan Dewan Pimpinan al Azhar yang terdiri dari kalangan Ulama, dan ia ditunjuk sebagai salah satu anggotanya yang mewakili pemerintah. 

Puncaknya adalah ketika Muhammad Abduh diangkat sebagai mufti besar pada tahun 1899, menggantikan Syeikh Hasunah al- Nadawi. 

Dan akhirnya ia meninggal pada 11 Juli 1905, akibat sakit yang dideritanya sejak lama.


PEMIKIRAN DAN USAHA PEMBARUAN MUHAMMAD ABDUH

Dengan banyaknya pengaruh dari luar Islam yang kemudian bercampur baur dengan Islam, yaitu paham Fatalisme (Jabariyah), 

mengakibatkan umat Islam saat itu mundur dan sangat terlampau jauh dari peradaban Barat. 

Maka untuk merespon hal itu Muhammad Abduh memiliki beberapa gagasan yang menurutnya harus dilakukan oleh umat Islam, 

sehingga umat Islam bisa bangkit kembali dan tidak tertinggal dengan peradaban Barat.

Pendapat Muhammad Abduh tentang Kemunduran Umat Islam

Dalam pandangannya, Muhammad Abduh cenderung memakai pemikiran teologi Mu’tazilah, yang sangat menekankan pada rasionalitas akal. 

Kepercayaan kepada akal membawa Muhammad Abduh kepada fham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariyah). 

Bukti bahwa ia mempunyai faham ini dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan manusia dalam Risalah al Tauhid

Ia juga dalam al Urwah al Wutsqa bersama al Afghani menjelaskan bahwa faham qadla dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalisme. 

Faham fatalisme yang terdapat dikalangan umat Islam perlu dirobah dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. 

Dengan jalan diatas, faham jumud (beku atau statis) dapat dihilangkan dari masyarakat Islam untuk kemudian diganti dengan faham dinamika.

Menurut Muhammad Abduh, penyebab kemunduran umat Islam pada akhir abad pertengahan adalah sikap jumud. 

Karena dipengaruhi sikap jumud inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan. 

Timbulnya sikap ini menurutnya berasal dari  tradisi luar Islam yang kemudian masuk Islam dengan membawa adat istiadat dan paham-paham animistis. 

Yang membuat pikiran masyarakat Muslim menjadi statis, seperti pemujaan yang berlebihan terhadap syeikh dan wali, 

kepatuhan buta terhadap ulama (taqlid), tawakal serta penyerahan bulat terhadap takdir (jabariyah).
 

Ide Muhammad Abduh terhadap Modernisasi Islam

Muhammad Abduh pada mulanya bermadzab Maliki, tetapi di al Azhar ia mempelajari Madzab Hanafi, 

ia menghargai semua madzhab akan tetapi tidak mau terikat pada salah satu madzab. 

Menurutnya bermadzab merupakan jalan yang ditempuh ulama masa lalu untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. 

Mengikuti madzhab berarti menganggap bahwa pendapat pendapat imam bersifat absolut, dan itu bertentangan dengan ajaran Islam. 

Hukum Islam haruslah merupakan produk dan terus menerus diperbarui. 

Hukum harus dipahami sebagai suatu sarana menciptakan kemaslahatan bagi manusia. 

Bagi Rasyid Ridha, Muhammad Abduh merupakan seorang mujtahid, yang mengeluarkan fatwa-fatwa dengan tidak terikat pada pendapat ulama-ulama masa lampau.

Untuk menyesuaikan dasar-dasar Islam dengan situasi modern perlu diadakan interpretasi baru, dan perlunya membuka pintu ijtihad. 

Ijtihad menurut pendapat Abduh, bukan hanya boleh tetapi penting dan perlu diadakan. 

Tetapi hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan yang boleh mengadakan ijtihad. 

Ijtihad dalam hal ini menurut Abduh adalah tentang persoalan muamalah yang dinilai ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan sedikit. 

Hukum masyarakat perlu disesuaikan dengan zaman, karena berhubungan antara manusia dengan manusia, 

sedangkan hukum ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman, karena hubungannya antara manusia dengan Tuhan.

Dengan ide yang sedemikian itu, maka Muhammad Abduh memiliki gagasan dan berupaya untuk menghilangkan tradisi taklid kepada ulama terdahulu, 

ia menganggap bahwa taklid hanya akan membuat umat Islam tidak mau lagi berpikir menggunakan akalnya. 

Sehingga hal itu menjadikan pemikiran umat Islam menjadi membeku (statis) dan tidak berkembang (dinamis)

Muhammad Abduh berpendapat bahwa agama Islam perlu diberi interpretasi baru, 

dalam konteks usaha modernisasi itulah Muhammad Abduh tidak segan-segan mengecam ulama yang sering terpaku pada pemahaman tradisional yang menimbulkan faham taklid, 

karena menurut Abduh hal itu membuat umat Islam berhenti berfikir. Sikap seperti itu dapat dipahami karena menurutnya Islam adalah agama yang rasional.

Ahmad Amir Aziz dalam bukunya Pembaruan Teologi, berpendapat bahwa gagasan pembaruan Muhammad Abduh apabila dicermati bertumpu pada tiga hal yaitu:

  1. Pembebasan pemikiran dari belenggu taklid,  
  2. Upaya memberi bentuk pemahaman agama sesuai cara yang ditempuh kaum ortodok (salaf),  
  3. penempatan agama sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Muhammad Abduh banyak menuangkan pemikiran pembaruannya terhadap bidang pendidikan. 

Ide nya adalah merombak dualisme sistem pendidikan. 

Menurutnya di sekolah-sekolah umu harus diajarkan agama, sedangkan di sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern. 

Dan ke dalam Al Azhar perlu dimasukkan ilmu modern agar para ulama Islam mengerti kebudayaan modern dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan yang timbul di zaman modern ini.

Baca Juga :  

SUMBER

Amir Aziz, Ahmad, 2009. “Pembaruan Teologi : Prespektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo Modernisme Fazlur Rahman”. Yogyakarta: Teras.
Nasution, Harun, 1987. “Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah”. Jakarta : UI Press.
                , 1992. “Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan”. Jakarta: Bulan Bintang.
Rusli, Ris’an, 2013. “Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Post a Comment for "Muhammad Abduh dan Kontribusinya di Dunia Islam"